Berkaca
dari sejarah kelahiran partai politik di Inggris pada abad ke 18 telah
membuktikan bahwa partai politik tidak bisa elitis. Praktik di Inggris kala itu
yang sebelumnya sangat elitis berubah menjadi populis ketika para elit
membutuhkan dukungan dalam tercapainya kepentingan politiknya melalui
pembentukan faksi di kalangan masyarakat.
Perlahan
namun pasti kepentingan elit beradaptasi dengan kepentingan banyak orang, tidak
lagi segelintir orang (elit). Pada akhirnya faksi-faksi tersebut mendapatkan
kesempatan yang lebih leluasa dalam politik Inggris termasuk pengembangan
sistem parlementer Inggris, maka faksi-faksi tersebut berubah nama menjadi
partai politik.
Partai
artinya untuk membagi, berasal dari kata partir dalam bahasa Latin, bermakna
adanya pembagian kekuasaan, kesempatan yang sama, serta kebebasan yang setara.
Semakin kuat makna ini setelah penyebutan faksi menjadi partai dalam sistem
politik. Maka partai politik menjadi kebutuhan bagi semua negara demokrasi,
atau negara yang menjamin kebebasan politik warga negaranya.
James
Bryce (The American Commonwealth, 1888) telah mengemukakan bahwa partai tak
terelakkan, tidak ada negara merdeka tanpa partai, tidak ada yang telah
menunjukkan bagaimana pemerintah representatif bisa bekerja tanpa mereka, mereka
menciptakan ketertiban dan kekacauan bagi pemilih.
Partai
politik menduduki peran penting bagi negara merdeka, negara yang menjamin
kebebasan rakyatnya dalam mempengaruhi pembentukan kebijakan publik. Melalui
partai politik masyarakat mampu menyampaikan aspirasinya baik dalam bentuk
dukungan maupun kritikan terhadap kebijakan yang sedang dibuat atau yang telah
diterapkan oleh pemerintah.
Fungsi
yang dijalankan oleh partai politik adalah melakukan agregasi, dan artikulasi
kepentingan politik masyarakat. Partai politik turut membuka kesempatan kepada
semua orang untuk memiliki kesempatan menjadi pejabat publik baik di eksekutif
maupun legislatif, sehingga terwujud pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat.
Maka partai politik menjalankan fungsi rekrutmen, kaderisasi, dan pengajuan
kader terbaiknya untuk maju dalam pemilihan umum.
Meskipun
begitu dalam praktiknya di berbagai negara, tidak sedikit partai politik
menjadi otoritarian, sarang KKN, sarana propaganda elit, kumpulan para oligark,
sarana demokrasi dinasti politik, pusat transaksional politik, hingga dalam
bahasa yang lebih sarkas disebut sebagai tempat bagi kumpulan para penipu
rakyat dengan janji-janji manis dalam pemilihan umum.
Alexis
de Tocqueville bahkan secara sadis menuding partai politik di Amerika Serikat
sebagai “organisasi kejahatan yang inheren dalam pemerintahan yang bebas.
Persaingan di pemerintahan yang dijamin oleh konstitusi AS membuat mereka
berpikiran sempit. Mereka bersinar dengan semangat, cengeng, Bahasa mereka
keras, namun kemajuan mereka lambat dan tidak pasti.
Cara
yang mereka gunakan sama jeleknya dengan tujuan yang mereka cari. Akibatnya
opini publik mengenai pertanyaan-pertanyaan detail terpecah belah tanpa batas
(ad infinitum)”.
Tentu
kondisi ini juga yang dialami oleh partai politik di Indonesia baik secara
sadar atau tidak sadar terjadi dan dilakukan, karena sebagai negara yang proses
demokrasinya belum begitu mapan atau perkembangannya baru terbuka secara bebas
pasca 1998,
kondisi
partai politik tentu masih jauh dari nilai ideal. Namun pengaruh sejarah
politik pada masa lalu turut serta dalam kondisi tersebut.
Partai
Nasional Demokrat atau yang disingkat NasDem berdiri pada 11 November 2011,
tepat 9 tahun lalu, lahir di tengah kondisi partai politik Indonesia seperti
apa yang disampaikan diatas. Kondisi tersebut menurunkan kepercayaan publik
terhadap partai politik, sehingga partisipasi politik masyarakat dalam setiap
pemilu terus menurun.
Kekhwatiran
akan menurunnya kualitas substansi demokrasi di Indonesia mendorong para
pendirinya yang dinakhodai Surya Paloh, untuk melahirkan partai politik yang
menjadi motor perubahan perilaku partai politik di Indonesia.
Karena
perubahan dalam partai politik tentu akan berdampak pada perbaikan
demokratisasi di Indonesia. Oleh karena itu Partai NasDem dengan slogannya
yaitu “Restorasi Indonesia” menjadi landasan dalam gerakan partai yang baru ini
pada seluruh aspek kehidupan bangsa, terutama dalam sistem politik dan
terkhususnya sistem kepartaian itu sendiri.
Restorasi
Indonesia merupakan refleksi atas kondisi bangsa dan negara yang mengalami
degradasi dalam proses mencapai tujuan nasional. Degradasi berupa menurunnya
karakter nasional, nasionalisme, patriotisme, implementasi Pancasila, serta
pembangunan yang melenceng dari cita-cita bangsa.
Sehingga
NasDem didirikan bertujuan untuk melahirkan pejabat publik yang telah
dikaderisasi agar mampu mewujudkan apa yang menjadi tujuan dan cita-cita
nasional. Untuk memulainya, maka restorasi dalam tubuh partai politik menjadi
salah satu kunci utamanya, sehingga NasDem dibangun diatas landasan akan
implementasi nilai-nilai ideal partai politik dalam negara demokrasi.
Landasan
ini tertuang dalam Visi Misi NasDem yaitu “Membangun Politik Demokratis
Berkeadilan berarti menciptakan tata ulang demokrasi yang membuka partisipasi
politik rakyat dengan cara membuka akses masyarakat secara keseluruhan.
Mengembangkan
model pendidikan kewarganegaraan untuk memperkuat karakter bangsa, serta
melakukan perubahan menuju efisiensi sistem pemilihan umum”. Pada kalimat ini
secara eksplisit partai NasDem didirikan untuk membuka keran partisipasi
politik yang aktif, kader politik yang terdidik, efisiensi sistem pemilu,
sehingga demokratisasi di Indonesia semakin kuat dan mapan mewujudkan
prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri.
Landasan
pada visi misi ini akan mampu mewujudkan restorasi yang dicita-citakan oleh
para pendiri partai NasDem. Sebab jika partai politik mampu melahirkan para
kader yang unggul dan berprestasi serta mampu mewujudkan tujuan dan cita-cita
nasional, maka dengan sendirinya kepercayaan publik akan meningkat, partisipasi
meningkat, transaksioanl dan elitisme akan terhapus, pada akhirnya Restorasi
Indonesia secara bertahap akan dapat terwujud.
Oleh
karena itu keterbukaan akses bagi seluruh warga negara untuk dapat
mengagregasikan dan mengartikulasikan kepentingan politiknya melalui partai
NasDem, serta menjadi kader yang direkrut dan dididik tentang cara mewujudkan
tujuan nasional, menjadi praktek utama dalam tubuh partai NasDem.
Caranya
adalah memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi seluruh warga negara
untuk menjadi kader partai NasDem tanpa “mahar politik” sama sekali, serta
membuka diri agar lebih mudah diakses oleh masyarakat melalui berbagai media,
keberadaan kantor di seluruh wilayah/daerah hingga kecamatan, serta doktrin
bagi para politisi NasDem agar mudah ditemui oleh masyarakat yang diwakili.
Penulis
sendiri sebagai seorang politisi muda di usia 27 tahun telah mampu menjadi
Anggota DPRD, bahkan menjadi Ketua DPRD di Kabupaten Tolikara Provinsi Papua,
karena menjadi kader partai NasDem. Tentu perjalanannya akan lebih sulit jika
penulis menjadi kader partai politik lainnya, apalagi partai politik yang masih
dikuasai kaum tua (gerontokrasi), budaya transaksional politik (mahar politik),
atau yang dikuasai oleh para oligark.
Sebab
semangat NasDem dibangun diatas upaya perwujudan kesetaraan politik bagi
seluruh kalangan anak bangsa, termasuk kalangan milenial seperti penulis
sendiri.
Keterbukaan
NasDem pada politisi milenial lahir dari biografi pendiri dan ketua NasDem
sendiri, Bapak Surya Paloh, beliau di masa muda nya saat masih menjadi
mahasiswa telah berpolitik dengan menjadi pendiri dan pengurus organisasi
politik. Beliau menjadi salah seorang pimpinan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar
Indonesia (KAPPI), hingga menjadi Koordinator Pemuda dan Pelajar pada
Sekretariat Bersama Golkar.
ia
sadar betul bahwa pemuda harus diberi ruang yang lebih besar dalam partai
politik, selain sebagai golongan usia yang paling banyak jumlahnya, penuh ide
kreatif dan inovasi, serta sebagai generasi penerus yang mampu mewujudkan
tujuan dan cita-cita nasional di masa depan.
Politisi
muda semakin dipermudah oleh partai NasDem dengan terbukanya kesempatan menjadi
kader yang akan dididik menjadi kader yang unggul dan didukung dalam pemilu,
tanpa perlu membayar “mahar politik” sehingga pemuda yang belum memiliki
kekuatan finansial dapat tetap menjadi politisi yang bisa mencalonkan diri
dalam pemilu.
Sebab
pemuda merupakan golongan yang paling banyak menuntut adanya perubahan politik
di negeri ini, selaras dengan landasan semangat NasDem yang ingin mewujudkan
Restorasi.
Pembuktian
ini dapat dilihat dari hasil pemilu tahun 2019, maupun dalam kebijakan yang
dilahirkan pada tahun ke 9 NasDem sebagai partai politik, pada tahun ini.
Dimana
NasDem telah mampu mewujudkan efisiensi regulasi melalui dukungannya melahirkan
UU Cipta Kerja, penguatan penegakkan hukum melalui lahirnya berbagai UU,
mewujudkan kesetaraan politik dengan mendukung dan menjadikan 39 % perempuan
sebagai anggota DPR RI, 10 orang anggota DPR RI milenial, serta ratusan
milenial lainnya sebagai aggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota (termasuk
penulis sendiri), serta capaian lainnya yang menjadi wujud keberhasilan NasDem
yang dipandang sebagai salah satu partai politik terbesar saat ini.
Oleh
karena itu NasDem telah layak dipandang dan dijadikan sebagai harapan baru
dalam sistem kepartaian di Indonesia yang mampu membantah pendapat Alexis de
Tocqueville tentang partai politik. Serta menjadi solusi bagi rakyat Indonesia
dalam mengartikulasikan kepentingan politiknya.
Sebab
NasDem telah mampu dan akan terus mengupayakan terwujudnya prinsip-prinsip
demokrasi yang menjadi landasan terwujudnya tujuan nasional, yaitu; kesetaraan,
kebebasan, dan keadilan sosial. Pada akhirnya penulis sampaikan Selamat
Ulangtahun yang ke 9 bagi Partai NasDem, Restorasi belum berakhir, Restorasi
selamanya.
Penulis
: Sonny Wanimbo, S.IP (Ketua DPRD Kabupaten Tolikara 2019-2024 & Sekaligus
Ketua DPD NasDem Kabupaten Tolikara)