Ufuk timur indonesia,
Kecamatan Patani Utara, Kabupaten Halmahera Tengah. Provinsi Maluku Utara
terdapat sebuah desa terpencil, ketika berada pada posisi tanjung ngolopopo
kelihatanya sedikit tersembunyi, tepeleo namanya.
Bagi masyarakat
Halteng maupun khalayak mungkin sudah familiar tentang kampung ini, pasalnya di
penghujung Tahun 2017 lalu Presiden RI
(Ir. Joko widodo) pernah berkunjung disana untuk meresmikan beberapa dermaga di
pesisisir Halmahera salah satunya dermaga Tepeleo sebagai akses pelayanan
komiditi-komiditi unggul di daerah terpencil (Tol Laut).
Awalnya Tepeleo tapi
setelah peresmian, diganti Tapaleo, tapi itu
bukan menjadi problem sebab kebiasan banyak orang dengan sebutan Tepeleo.
“Manus, atau Sebutan
Secara Linguistik Kedaerahannya Ialah (Loi Pilu) yang artinya Batu Dua,
terletak di Desa Tepeleo, Kapal yang Terdampar.”
Sejarah Singkat Batu
Dua (Manus)
Alkisah berdasarkan
referensi kuno ada sebuah sejarah merintis sebuah ekspedisi,
sebuah kapal dengan menggunakan tujuh tiang layar mengarungi lautan bebas
hingga menyusuri pesisir halmahera.
Satu perjalanan yang
sangat mengesankan, begitu menguras waktu dan tenaga namun sang nahkoda
tersebut tak pernah henti mengayunkan arah kapal, menyetir dengan penuh
kehati-hatian.
Sebuah misi berkepanjangan dengan senantiasa ingin menapaki
sesuatu yang kerap direncanakan, kapal yang memiliki 44 orang terhormat berasal
dari negeri “Magribi” dengan tujuan mencari negeri “Dibawah Angin”
yang mungkin sudah sekian lama di idam-idamkan.
Perjalanan yang dengan menyita waktu begitu panjang, kini berakhir
dengan tragis, pilu dan gelisa hingga berakhir dengan sia-sia tanpa membuah
hasil yang memuaskan.
Pada catatan ini
tidak begitu detail dijelaskan asbab bun nuzul negeri magribi itu, hanya berdasarkan
pengetahuan cerita rakyat, dari uraian beberapa informen di desa tepeleo.
Berdasarkan wacana yang dibangun, lewat berbagai komparasi pikiran mengenai
pengetahuan- pengetahuan local.
Untuk menemukan negeri dibawah angin (Ngolopopo) adalah tekad serta
itikad 44 manusia terhormat dalam bahtera tersebut, dengan demikian segala
konsekuensi yang dihadapai selama perjalanan menyebrangi lautan tak menjadi
penghalang, layar tetap berlawanan dengan mata angin, melewati pulau dan hol,
membela lautan, awan kabut menyelimuti, hujan mengguyur, pelangi membentang,
beragam tantangan dilalui semua.
Hari demi hari, minggu per minggu, bulan berlalu terasa begitu cepat, membekas
diatas lautan sunyi, berlabuh dengan membusungkan dada, kuat dan peka terhadap
realitas yang dihadapinya. Pada ahkhirnya misi yang direncanakan ini tidak
tercapai, negeri dibawa angin yang dituju tak dapat ditemukan, anda tahu kenapa!!!
Hujan Badai, Petir dan Kilat Membabak Belur Tujuh Tiang Layar Sebuah desa terpencil, tepeleo dengan tanjung dan teluk, kampung tepeleo atau (Pnu) sebutan orang patani secara holistik.
Lebih lanjut lagi, setelah berlayar sampai bulan perbulan dilautan akhirnya dapat memasuki daerah patani, penuh dengan semangat yang meluap-luap, harapan semakin melangit bak seperti anak ayam kehilangan induk namun bertemu kembali.
Sayangnya mereka tak dapat menemukan negeri “Dibawah Angin” setelah tiba di daratan patani, kondisi seakan-akan panik, menebar mata dengan menonjol, sang pengemudi (nahkoda) dengan begitu heran tak tahu kemana harus berlabuh bagaikan kapas yang di tiup angin tak tahu arah mau kemana.
pada posisi itu orang-orang tersebut seakan
bermohon kepada Yang Maha Kuasa untuk diberi petunjuk namun tetap
memiliki nasib yang malang.
Dengan demikian sontak
bahtera tersebut dibawah arus hingga hamparan permukaan kampung tepeleo,
disitulah nasib buruk juga datang menghampa, angin badai (Taufan) petir dan
kilat menyambar muncul dengan serentak menghantam bahtera, membabak belur tujuh
tiang layar hingga terdampar terjungkir diatas rep dan tidak bisa diselamatkan.
Singkat cerita, pada bahtera itu juga memiliki 2 persiapan perahu kecil (kule-kule), ada kule-kule yang agak sedikit sedang dan satu yang paling terkecil, kapal dengan membawa 44 orang terhormat itu akhirnya hanyut dan terdampar hingga menjadi karang batu di pesisir kampung tepeleo.
Induk kapal besar adalah batu dua
sekarang yang menjadi icon desa tersebut dan perahu kule-kule yang sedikit
sedang terdampar di manusimnya, areal pertengahan antara tepeleo batu dua dan
pantura jaya dan satu yang paling kecil berada disamping batu dua yang sekarang banyak
orang merasa senang ketika memotret mengambil gambar, memilki keunikanya sendiri.
Mungkin ini sedikit
referensi tentang sejarah manus (Batu Dua) yang berada di desa tepeleo batu
dua, batu dua ini juga memiliki khas dengan membawa semangat orang-orang
kampung untuk menyebut namanya.
Barangkali ini adalah hasil bacarita penulis dengan salah satu anak muda yang dianggap matang dalam memilik sejarah dan sejuta referensi kearifan lokal (Lokal Wisdom).
Yang
jelas, pada akhirnya, percakapan yang diturunkan dari
teks wawancara ini, tidak sekadar Flatus
Vocis, bukanlah letupan angin semata-mata. Tetapi, semoga menjadi bahan
pengimbang bagi wacana yang terekam dalam benak kita.
Demikian ini belum seberapa yang harus dicapai, penting kiranya kebudayaan serta kearifal lokal ini patut dikembangkan sebagai medium untuk menyemangati anak-anak kampung agar tetap mengutamakan kebudayaan dan sejarah lokal.
oleh karena pendahulu maupun
petua petuah kampung terdahulu belum begitu mahir mengenal semangat literasi
disebabkan faktor zaman dan lain-lain, tersebab generasi hari ini juga patut
kiranya mengembangkan semangat literasi terutama merilis kearifan lokal (Lokal
Wisdom).
Untuk menjaga pergeseran Orientasi paradigma manusia, meminjam
terminologinya Emile Durkheim “Banyak yang tidak mampu membedakan kesadaran kolektif dan kesadaran
individu” melainkan obyek dari budi akal manusia untuk memberi pengamatan dan
kontemplasi sesuai dengan pengetahuan-pengetahuan local.
Dengan demikian, catatan ini bukan berarti harus kembali kepada masa-masa kelam seperti halnya perspektif tradisional atau perenialis dalam memahami sejarah, memang betul ada beragam makna, misalnya, ada makna sosial maupun makna sejarah bahkan ada juga makna dialektis sejarah.
Jika ada tafsiran
dalam sejarah. Kita tak menafikan adanya makna dalam sejarah. Jika ada tafsiran
dalam sejarah, harus membawa pada makna tertentu; dan makna tertentu harus
dikaji, bagaimana asal usulnya dan juga ideologinya.
Penulis :Sukarman
Kasim (Ketum Hmi Komisariat Ahmad Dahlan Cab Ternate & Generasi Tepeleo)